TITIP SALAM BUAT PAPA

"TITIP SALAM BUAT PAPA"

nhacerita.blogspot.com
Sudah lama aku berdiri dipintu rumah ini, rumah yang dulu penuh kenangan dimasa kecilku bersama Mama dan Papa, aku tak menyangka aku akan kembali lagi kerumah ini setelah sekian lama aku meninggalkan seluruh kenanganku dengan terpaksa, dulu aku tinggalkan rumah ini sebagai tuan rumah dirumah ini, tapi sekarang aku datang hanya sebagai tamu, tak banyak perubahan di rumah ini, pohon yang ada disamping rumah masih berdiri tegak seakan mengucapkan selamat datang kembali untukku, hanya saja sekarang disitu tak ada ayunan yang sering aku naiki dulu ditemani Mama, Mama ? oh.. Mama betapa rindunya aku dengan suasana hangat seperti dulu, saat Mama masih bersamaku, seandainya saja Mama ada bersamaku saat ini, mungkin beban ini tak terlalu berat aku rasakan, untuk mengetuk pintu rumah ini saja aku sangat enggan, tapi inilah yang harus aku lakukan, menemui Papa dan keluarga barunya... Sakit rasanya harus mengalah seperti ini, padahal dulu aku bersikeras tak mau menemui Papa lagi karena keputusan Papa mencari pengganti Mama setelah beberapa Mama meninggal, bagiku itu sebuah penghianatan, walau bagi Papa itu adalah jalan keluar..

Keputusan Eyang untuk menyuruhku kuliah di Bandung memang tak bisa ditolak dan ditawar lagi, bagi kami Eyang seperti seorang hakim, dan segala perintahnya adalah keputusan yang mutlak tanpa harus mengetuk palu tiga kali, aku sempat mengira Eyang tak sayang lagi padaku, tapi penjelasan Eyang memang masuk diakal, Eyang tidak mau aku menjadi anak pembangkang dengan memusuhi Papa seumur hidupku tapi apakah aku sanggup menghadapi Papa dan keluarga barunya yang jalas-jelas sudah menyakiti aku?.Kutekan bel di depan pintu, alunannya sedikit terdengar, masih sama seperti yang dulu, lagu hussh little baby, kesukaanku waktu dulu, Mama sering menyanyikannya untukku, dan aku pasti tidur lelap dibuatnya..

Pintu mulai terbuka, ada wajah menyempul yang sudah lama tak kujumpai, kalau saja aku tak tertawa mungkin dia juga tak akan mengenaliku,”ya ampun, Neng alit sudah datang”katanya menyambutku riang, tangannya dengan sigap menenteng koper yang aku bawa, tenaganya masih kuat seperti dulu walaupun wajahnya tak semuda waktu itu, ibu Lilis namanya, dia orang yang bekerja dirumahku dulu,

Mama melarangku memanggilnya bibi seperti kebanyakan orang, katanya kita harus menganggap dia sebagai saudara agar dia kerasan kerja disini, dan ternyata memang benar, buktinya sekarang dia masih ada disini,”kirain teh bukan Neng alit, pangling sekarang mah sudah besar, makin cantik saja kayak Neng agan” katanya lagi sambil membawakan aku secangkir teh manis kesukaanku, Neng alit panggilan dia terhadapku dan Neng agan panggilan dia pada Mama, dulu, aku dan Mama sering menertawakan kebiasaannya itu, tapi sudah tidak bisa dirubah katanya itu panggilan juragannya terdahulu dan dia tidak bisa merubahnya, jadi ya...biarkan saja,

”Neng alit dari Jakarta jam berapa?” tanyanya lagi, dari wajahnya aku tahu dia senang aku datang, ”Juragan anom sudah lama nungguin Eneng, tapi sekarang sedang keluar kota, besok malam baru pulang, tapi sudah saya kasih tahu nyonya kalau Neng alit sudah datang”  jelasnya lagi, Juragan anom itu Papa, tapi... nyonya? Siapa itu? mungkinkah... ”sudah datang rupanya, dari Jakarta jam berapa?” suara agak kencang itu membuyarkan lamunanku sekaligus menjawab pertanyaanku, wanita itu lain sekali dengan Mama, suara Mama lembut tidak seperti dia ”siang tante, saya dari rumah jam tujuh biar tidak terlalu panas dijalan”  jawabku, ”oh...pasti kamu lapar, ayo kita makan dulu, bibi sudah siapkan makanan kesukaan kamu” lanjutnya lagi ”makasih tante, tapi saya masih kenyang, saya bawa bekal tadi”, aneh rasanya menjadi tamu dirumahku sendiri ”ya sudah kamu istirahat saja, bibi....anter Brina ke kamarnya” teriaknya pada ibu lilis, dengan tergopoh-gopoh bu Lilis menghampiriku dan menemani aku kekamarku, aku merasa janggal melihat bu Lilis seperti itu seperti ketakutan kalau berhadapan nyonya rumah ini,

Sesampainya dikamar aku melihat sekeliling kamarku masih sama seperti dulu hanya ada sedikit perubahan, tidak ada rumah Barbie dipojok kamar dan meja tempat koleksi Barbieku juga tak ada, “begitu tahu Eneng mau datang, Juragan anom langsung nyuruh bibi beresin kamar ini, memang ada yang dirubah, kata juragan eneng sudah besar mana mau main boneka lagi, jadi juragan simpan di kas, lalu disimpan digudang atas, tapi kalau eneng mau biar bibi yang beresin lagi nanti, ya”, “ngga usah bu, biar begini saja, Papa benar, saya ngga perlu boneka lagi” kataku pada ibu, ” kalau gitu bibi tinggal dulu ya, neng, nanti kalau pekerjaan bibi sudah beres, bibi kesisni lagi ya” lanjutnya, aku hanya mengangguk saja dan mulai membereskan baju dan buku yang aku bawa dari rumah Eyang, baru saja aku pisah beberapa jam dari Eyang sudah rindu setengah mati sama eyang, walaupun cerewet tapi aku sayang sama Eyang, kapan ya Eyang menjengukku? Ah... baru juga datang, mana mungkin Eyang menjenguk aku. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur, dan tanpa terasa aku tertidur karena lelah..

Terdengar suara pintu diketuk, “sore Neng, aduh, lagi istirahat ya neng, maapin bibi ya neng udah ganggu istirahat eneng” katanya lagi, “ga apa-apa ko’ bu, sejak kapan ibu di panggil bibi?” tanyaku penasaran, yang ditanya cuma bengong ngga tahu mesti ngomong apa, mungkin dia sendiri sudah lupa. “Sini neng, bibi pijitin, pasti eneng capek ya” katanya lagi, “ngga usah bu, aku ngga biasa dipijit, dan ingat ya bu, kalo sama aku jangan pake bibi, ibu aja, kayak dulu oke!” ibu Lilis cuma tersenyum, ” semenjak eneng pergi dari sini, agan anom sering melamun, dan sering sekali tidur dikamar eneng, kelihatannya sedih sekali, boneka punya eneng juga dipindahkan karena agan selalu teringat eneng kalau lihat boneka itu, makanya agan nyuruh bibi beresin semuanya, waktu di telepon agan eyang, ngasih tahu eneng mau pindah kesisi lagi, agan senang sekali sampai-sampai spreinya harus diganti sama persis seperti waktu eneng pergi dari sisi, untung aja bibi eh ibu masih simpan semuanya” ceritanya panjang lebar,

padahal seharusnya Papa ngga perlu seperti itu, aku jadi merasa bersalah, seandainya saja aku bisa lebih berbesar hati menerima keputusan Papa untuk menikah lagi, Papa masih muda dan pasti kesepian, Papa perlu orang yang mengurusnya sepulang dari kantor dan menyiapkan segala keperluan Papa seperti kebiasaan mama dulu dan aku yakin disana mama sedih aku memperlakukan Papa seperti ini, Papa juga kan kesayangan mama, sama halnya seperti aku, dan pasti mama ngga mau dua orang yang disayangnya saling membenci,
“ eneng ko jadi melamun, ibu salah ngomomg ya neng, maapin ibu ya neng” pertanyaan ibu membuyarkan lamunanku “ngga ko’ bu, aku ngga apa-apa” aku melirik jam di dinding, sudah jam tujuh malam, rasanya baru tadi aku tertidur “eneng makan dulu, baru mandi, nanti ibu siapin air panasnya” kata ibu lagi, aku mengangguk lalu turun menemiu tante Sarah, ibu tiriku...

“malam tante, maaf ya, tadi saya ketiduran” kataku memberi pejelasan, aku ngga mau dia berfikir aku enggan menemuinya dan berusaha menghindar darinya, “ ngga apa-apa, sana gih makan dulu nanti kamu kelaperan lagi, tante ngga mau kamu sakit, nanti tante kena marah Papa kamu lagi” jawabannya sungguh diluar dugaanku, aku rasa Papa sudah salah memilih pengganti mama, dia sangat berbeda dengan mama, memang ngga ada yang bisa ganti mama.

Aku makan sendiri malam itu, tanpa ada yang mengajak bicara dan tak ada selamat malam untuk mengantarku tidur, sungguh ini bukan suasana yang aku inginkan, tiba-tiba saja aku kangen Papa, apakah sikap tante Sarah akan berbeda jika ada Papa disini seperti kisah ibu tiri lainnya? Aku tak tahu, bertemu Papa saja aku belum, ”bibi...kalau Brina sudah makan tolong bereskan, saya mau kekamar” teriakan itu sungguh tidak nyaman bagi telingaku “Brina, tante tidur dulu ya, besok mungkin kita bicara lagi, tante sudah capek, sampai ketemu besok” tante Sarah pamit istirahat, “ ya tante, selamat istirahat”, jawabku, mungkinkah sikapnya itu berhubungan dengan penolakanku terhadapnya waktu dulu, hingga dia sekarang merasa enggan menemaniku, padahal aku baru datang dan Papa tidak ada disini, sudah sepantasnya dia menemaniku malam ini, tapi tak apa, mungkin saja dia memang sudah lelah,

Ibu Lilis membereskan meja makan, aku membantunya mencuci piring, dia menolaknya, tapi aku bersikeras membantunya selain sudah kebiasaanku sewaktu dirumah eyang, aku juga diajarkan mama untuk tidak merepotkan pembantu, selagi aku bisa melakukannya sendiri ya apa salahnya dikerjakan sendiri. Aku kembali kekamarku, rasanya suasana dirumah ini sudah jauh berbeda, aku seperti di rumah asing saja, tidak bisa leluasa seperti dulu, padahal aku akan tinggal lama disini bersama tanta Sarah, tapi rasanya aku tak akan sanggup lama-lama tinggal disini apalagi sikap tante Sarah sungguh tidak manis terhadapku..

Ketika aku sedang asyik melamun, pintu kamarku diketuk dari luar, “masuk aja bu” kataku yakin kalau itu ibu Lilis “kamu belum tidur, sayang”, suara itu... ”Papa...!” teriakku girang, aku tak menyangka akan sebahagia ini bertemu dengan Papa, mungkin selama ini aku memang tidak pernah membenci Papa, selama ini aku hanya takut kehilangan Papa.
Aku peluk Papa dengan erat ada rasa haru dalam hatiku bisa memeluk Papa seperti ini lagi “ Brina kangen sama Papa, Papa apa kabar?” Papa tertawa lepas lalu memelukku lagi “putri papa sekarang sudah besar, sudah menjadi gadis, cantik seperti mama kamu” Papa memandangku lama sekali, aku tahu dia pasti sangat rindu padaku seperti halnya aku,

Papa mengajakku keruang kerjanya, sama seperti dulu, tapi foto mama berganti menjadi foto tante Sarah, tentu saja harus begitu, tapi dimeja kerja Papa masih ada fotoku berdua mama yang sebelumnya adalah foto Papa, mama dan aku, mungkin Papa hanya menjaga perasaan tante Sarah saja, dalam hati Papa aku tahu Papa masih menyayangi kami berdua, aku tahu itu..
”Papa kenapa datang malam ini, bukannya seharusnya Papa baru pulang besok malam?" tanyaku, “anak Papa datang masa Papa masih mikirin kerjaan, kerjaan Papa sudah Papa selesaikan, rencananya besok itu Papa hanya menyempatkan membeli satu dua barang untuk mama mu, maksud Papa tante Sarah, tapi Papa sudah tidak tahan ingin bertemu kamu, makanya Papa putuskan untuk pulang malam ini juga” jelas Papa, pasti besok tante Sarah tambah jutek sama aku, mengetahui Papa tidak membawakan apa-apa untuknya hanya demi aku, tapi tak masalah, yang penting papa ada bersamaku.

Malam ini aku dan Papa menghabiskan malam berdua saja keliling kota Bandung, membeli makanan pinggir jalan kesukaanku waktu dulu, ternyata Papa masih ingat, apalagi Bandung kota yang tak pernah tidur, jam berapa saja kita mau makan pasti ada tempat yang bersedia menjamu.

Sesampainya dirumah kami sudah ditunggu satpam yang memakai baju tidur dan masker tebal, tante Sarah, wajahnya terlihat seram dengan mata menatap tajam kearah kami, Papa hanya tersenyum geli dibuatnya. “malam larut gini baru pulang, Brina kan baru datang, Papa juga baru pulang, kan masih ada hari besok kayak yang mau mati besok saja”, Papa menutup bibirnya dengan satu jari, mengisyaratkan kalau tante Sarah harus mengecilkan volume suaranya, aku tahan tawaku, takut kalau tante Sarah tambah ngomel-ngomel, ibu Lilis tersenyum geli mengikutiku dari belakang, sesampainya dikamar aku dan bu Lilis tertawa sepuasnya menertawai kelakuan tante Sarah.

Dari Cerita ibu Lilis aku tahu kalau sebenarnya tante Sarah tidak mengharapkan kedatanganku, dia sudah merasa tersingkirkan dengan foto-fotoku dan foto mama dirumah ini, baginya dia adalah nyonya rumahnya sekarang tapi dia sendiri tidak bisa menolak keinginan Papa yang satu itu, aku mulai berfikir untuk kembali saja kerumah eyang, disana aku juga bisa ketemu Papa, dinding pemisah yang aku bangun selama ini sudah runtuh, kalah oleh rasa kangenku pada Papa,

Tiba-tiba terdengar suara sesuatu pecah, datangnya dari bawah, dari kamar Papa, aku dan ibu Lilis segera berlari keluar menuju tempat terjadinya keributan, suara dari kamar Papa terdengar jelas “selama ini aku sudah sabar dengan menunggumu melupakan mendiang isrtrimu, tapi aku tidak bisa jika terus begini, apalagi Brina sekarang tinggal disini, mana bisa kamu lupa segala tentang istrimu, lihat saja, baru semalam dia ada disni kamu sudah tidak melihat aku, kamu malah pergi menemui dia tanpa menemuiku dulu, aku istri kamu, kamu bisa ngga sih menghargai aku” suara tante Sarah sungguh bagaikan petir ditelingaku, air mataku sudah tak terbendung lagi bukan saja karena marah padanya tapi ada rasa kasihan, benarkah dia merasa aku mencuri Papa darinya? sama seperti aku saat mengira dia akan mencuri Papa dariku, Tuhan, apa yang harus aku lakukan, “Brina itu anakku, mana mungkin aku mengabaikannya, kamu juga tahu ini keinginanku sejak dulu, kembali membawanya kerumah ini, dan kamu menyetujuinya, tapi mengapa sekarang kamu malah menyalahkan kedatangannya, sungguh aku tak mengira kamu berpikiran picik seperti ini”,
suara Papa tak kalah kencangnya, membuatku semakin sedih mengapa kedatanganku membuat hati Papa terluka, aku kira aku akan membuat segalanya jauh lebih baik ternyata aku salah, aku hanya membuat tante Sarah dan Papa sama-sama terluka.
 
Ibu Lilis mengusap bahuku, dia tahu aku akan sakit hati mendengar percekcokan ini, dia mengajakku kembali ke kamar tapi aku tak mau, “bisa tidak kamu kecilkan sedikit suaramu, nanti Brina bisa dengar”, Papa berusaha meredam amarah tante sarah, lama tak terdengar suara dari dalam, tiba-tiba pintu kamar Papa terbuka, tante sarah keluar dari sana, dia menatapku, “puas kamu sekarang” ujarnya ketus kepadaku lalu pergi menuju kamar tamu, seperinya keadaan memang sangat gawat dan itu semua karena aku, aku masuk kekamar Papa, disana Papa sedang terduduk di lantai, Papa terkejut dengan kedatanganku, dia berlari memelukku dan mulai menangis, tak sepatah katapun terucap dari mulutnya hanya saja kurasakan pelukannya semakin erat seperti tak mau berpisah denganku lagi,

Aku mengajak Papa keteras samping rumah, dulu biasanya kalau Papa sedang ada masalah dia selalu duduk disini sampai larut malam, kuharap dengan membawa Papa kesini bisa membuatnya lebih tenang,

“kamu mendengar semuanya Brina?” tanya Papa setelah sekian lama terdiam, aku menganggukkan kepala, Papa merangkulku, “Papa minta maaf malam pertama kamu kembali kesini sudah diwarnai kajadian tidak mengenakkan” Papa mencoba menenangkanku, Papa tahu aku sudah menangis, “Brina yang minta maaf, Pa, kalau saja Brina tidak mengajak Papa keluar malam ini mungkin kejadiannya ngga akan seperti ini”, “ini bukan salah kamu, Papa memang salah seharusnya Papa memberi tahu dulu mama kamu, maksud Papa... tante Sarah,kalau papa sudah pulang, tapi Papa malah keluar tanpa sepengetahuan dia, padahal Papa tahu itu akan membuatnya marah seperti ini, tapi Papa benar-benar ngga menyangka dengan ucapannya itu, Papa kira selama ini dia tulus menyayangi kamu dan Papa” lanjutnya.

” Papa ngga usah menyalahkan diri papa lagi, sudah jelas semua ini karena kehadiran Brina dirumah ini, Brina tahu Papa sekarang sudah punya keluarga baru, Brina memang anak Papa tapi Brina bukan anak tante Sarah, Brina mengerti itu, Brina tidak marah, justru Brina ingin sekali minta maaf sama tante Sarah, Brina sudah menyakiti hati tante Sarah” aku berusaha menahan rasa sedihku demi Papa, walaupun aku sama sekali tak rela diperlakukan seperti ini, semua ini demi Papa, demi menebus kesalahanku pada Papa selama ini, jika aku mau ingin rasanya menampar muka tante Sarah tapi aku ingin membuktikan pada Papa kalau aku sudah dewasa dan aku bukan anak kecil lagi yang akan mengumbar rasa amarahku pada setiap orang, aku ingin menjadi anak Papa yang tumbuh dewasa dan akan menjadi anak yang baik-baik sekalipun ngga ada Papa di samping aku, aku tahu Papa tak terima dengan penjelasan ku tapi aku sudah tak mau memperpanjang masalah ini, aku pamit pergi ke kamar dan meninggslksn Papa sendiri.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan mengepak lagi barang-barangku, aku rasa tak ada gunanya aku tinggal disini, tidak akan memberikan kebahagiaan buat Papa, selama ini Papa baik-baik saja tanpa aku bersama tante Sarah, justru kadatanganku mengganggu keharmonisan keluarga baru Papa. Kutulis surat buat Papa di secarik kertas, hanya untuk memberitahukannya kalau aku akan baik-baik saja, kalau aku terus terang akan pulang kerumah eyang tentu Papa tak akan memberi izin, jadi kuputuskan menulis surat saja
Dear papa,
Papa sayang, maafkan Brina, Brina pergi dengan cara seperti ini lagi, kali ini bukan karena Brina benci papa ataupun tante Sarah, tapi karena Brina mencintai kalian berdua, Brina tak ada maksud membuat tante Sarah terluka, mungkin dengan kepergian Brina bisa membuktikan pada tante Sarah kalau Brina tidak akan merebut papa darinya, walaupun Brina jauh dari papa, Brina tidak akan menyakiti siapapun dan Brina akan selalu tetap menjadi anak papa, Brina tidak akan kehilangan papa meskipun Brina jauh dari papa, karena selama inipun papa tidak pernah melupakan Brina, Brina senang mendengar papa selalu memikirkan Brina selama Brina jauh dari papa, tapi sekarang papa sudah punya tante Sarah, papa harus berusaha menghargai dia, bukankah papa yang selama ini memilih dia untuk menjadi teman hidup papa?, Brina yakin mama pun akan senang kalau papa senang, tapi Brina tidak siap menjadi bagian dari kelurga papa sekarang, terlalu menyakitkan mengetahui kehadiran Brina menyakiti tante Sarah, papa tidak perlu marah padanya karena Brina membutuhkan dia, untuk menjaga papa.

Papa sayang, jaga diri papa baik-baik, Brina akan selalu merindukan papa, semalam bersama papa bisa menebus waktu yang hilang selama kita tidak bersama, tapi Brina harus pulang kerumah eyang, disana eyang lebih membutuhkan Brina, papa tidak keberatan bukan?, Brina akan menunggu papa menjenguk Brina dirumah eyang, kali ini eyang tidak akan marah sama papa karena Brina sudah tidak marah lagi sama papa. Salam hangat dari Brina untuk papa, sekali lagi Brina minta maaf harus pergi seperti ini, Brina tidak akan menyuruh papa untuk tidak melupakan Brina karena Brina yakin papa tidah akan melupakan Brina.

Papa sayang, hari sudah mulai terang, Brina harus pergi sekarang, sampaikan salam Brina untuk tante Sarah.

Salam manis buat Papa,
BRINA.

Kulipat surat buat Papa, aku minta ibu Lilis membukakan pintu untukku, dia merasa keberatan, tapi aku berhasil membujuknya, langkahku terasa berat meninggalkan Papa dan rumah ini, tapi aku harus melakukannya demi Papa. Kutinggalkan rumah ini sekali lagi, kali ini dengan membawa sejuta sayangku pada Papa.

Selesai


Comments

Popular posts from this blog

MY NEW NORMAL

BAKSO MURAH MERIAH